Home » » Terikat

Terikat

Kenapa ini semua terjadi ? Kenapa semua orang yang aku sayangi pergi ?

Ini bukan kisah cinta romantis, bukan juga kisah cinta yang membuat mabuk kepayang. Ini adalah kisah seorang pria yang hanya mencintai satu orang wanita dalam hidupnya, ini adalah kisah yang menceritakan sisi lain dari cinta. 



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku dan Chris bertemu saat masa orientasi di kampus, kami sama sama berkuliah di jurusan Sistem Informasi. Sejak pertama kali bertemu, aku tau bahwa aku jatuh cinta dengannya. Entah karena parasnya yang tampan dengan tubuh atletisnya atau karena kharismanya yang memikat. Ketika melihat wajahnya, hatiku merasa begitu hangat. Tatapannya tajam namun juga terlihat sendu. Ia bukanlah pria yang senang terlibat dalam sebuah obrolan, ia lebih suka menyendiri. Namun, aku tetap menyukainya meskipun ia menunjukan sikap tertutup. 

Kukira kami akan jarang bertemu ketika masa orientasi berakhir, namun kenyataannya justru sebaliknya. Kami sering berada di satu kelas yang sama. Ia suka duduk di barisan pertama agar dengan tenang dapat mendengarkan ajaran dosen. Di dalam kelas, ia terlihat begitu cerdas karena mampu menangkap pelajaran yang diberikan dengan cepat. Di kelaspun, ada banyak wanita yang menyukainya selain aku. 

Di suatu kesempatan, kami diharuskan untuk mengerjakan tugas bersama. Saat itulah aku mendapatkan nomor handphonenya dan aku memberanikan diri untuk mengiriminya pesan. Awalnya hanya untuk menanyakan tugas atau pelajaran yang tidak ku mengerti dan dibalas singkat olehnya. Namun akhirnya aku mengiriminya pesan untuk menanyakan hal lain di luar kampus, yang ia tanggapi dengan cukup baik meski sebelumnya cukup dingin. 

Melihat responnya yang baik, aku berinisiatif mengajaknya pergi ke bioskop dan ia menyetujuinya. Saat itu aku senang bukan kepalang. Semenjak saat itu, kami sering pergi ke bioskop atau makan siang bersama di kampus. Saat saat yang membuat pipiku merona merah dan membuatku tak ingin waktu berlalu. Ia pun terlihat semakin terbuka denganku, membuatku merasa mendapat angin segar karena ia tak pernah menunjukkan sikap itu di hadapan orang lain. 

Entah karena sikapku yang hangat atau karena kegigihanku dalam mengejarnya, ia memintaku menjadi kekasihnya. Bagiku, itu adalah sebuah pertanyaan retoris, karena tanpa berpikir pun aku akan menjawab "iya". Sejak saat itu kami resmi berpacaran. 

Sesuai dugaanku, Chris sangat memanjakanku dan memberikanku perlakuan yang manis. Ia sangat senang melihat aku bermanja manja dengannya. Ia sangat benci jika aku datang terlambat ke kencan kami atau melakukan perubahan jadwal di hari kencan kami. Ketika marah, ia akan membuatku merasa tersudut hingga akhirnya aku menangis. 

Ia tidak memiliki teman dekat lainnya di kampus selain aku. Ia tak pernah menghabiskan waktunya selain denganku. Ia tinggal dengan orang tuanya dan 2 adiknya di wilayah Menteng. Ia sangat suka jika aku memintanya untuk datang ke kontrakanku untuk memasak bersama. Dan aku sangat nyaman ketika bersamanya. Ia adalah pria terbaik di mataku, pria yang selalu memastikan agar aku merasa aman dimanapun berada. 

Aku sangat mencintai Chris. Dan Chris pun begitu. Aku mencintainya karena ia selalu mengedepankan kepentinganku. Dan ia mencintaiku hanya dengan aku memberikan perhatian dan kasih sayang tulus. Pria sesempurna Chris, mencintai aku yang seringkali ceroboh dan egois. 

Tidak terasa, 4 tahun sudah kami berpacaran. Setelah lulus, kami bekerja di perusahaan berbeda. Chris bekerja sebagai seorang software developer dan aku bekerja sebagai seorang sales. Kami sama sama bekerja di perusahaan IT, masih sejalan dengan apa yang kami pelajari semasa kuliah. Chris mengantar dan menjemputku setiap hari karena kami sejalan. Setiap harinya Chris akan menemaniku memasak dan kemudian makan malam bersamaku. 

Chris adalah seorang introvert sejati, terkadang kepribadiannya berbanding terbalik denganku yang ekstrovert. Aku menyadarinya sejak pertama kali kami pacaran. Namun semenjak kami bekerja, perbedaan ini terasa begitu mencolok. Semasa kuliah, aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan Chris dibanding temanku lainnya. Namun semasa kerja, ia akan merasa cemburu hanya ketika aku pergi menemui customerku, terlebih jika mereka adalah lelaki. Rasa cemburunya yang berlebih sampai kapanpun tidak mampu ku mengerti. 

Meski aku berusaha bersabar, namun kejadian hari ini tak dapat kutoleransi. 

Hari ini aku pergi menemui customerku di PT Setia Abadi yang berada di Menara Perunggu. Aku tak dapat memprediksi kapan kunjunganku berakhir dan aku meminta Chris untuk tidak menjemputku. Dalam kunjunganku, aku mengambil sebuah foto bersama customerku yaitu Pak Agus. Ia adalah seorang pria berumur 50 tahun ke atas, kurasa seumuran dengan ayahku yang kini berada di Malang. Dalam foto itu, aku dan Pak Agus duduk berdekatan sedangkan di sisiku yang lain ada Ineke yang merupakan staff dari Pak Agus. Aku pun mengunggah foto itu ke dalam instagram karena menurutku foto itu terlihat bagus. 

Tak kusangka ketika aku hendak pulang, Chris telah menantiku di loby . Ia memarahiku di depan pengunjung Menara Perunggu yang juga tengah berada di loby. Ia mengatakan bahwa aku adalah perempuan murahan yang mau saja didekati oleh pria paruh baya. Aku merasa kesabaranku telah habis dan kemudian aku menamparnya sebelum akhirnya aku meninggalkannya. 

Malam ini, aku menangisi pertengkaran yang telah kami lakukan. Aku tak mengerti kenapa ia menjadi begitu posesif. Aku tau bahwa rasa cemburunya begitu besar, maka aku menjaga jarak dengan teman teman priaku. Namun, jika aku harus menjaga jarak dengan customerku yang merupakan bagian dari pekerjaanku, aku tak dapat terima itu, 

Setelah pertengkaran itu, Chris tidak mengirimiku pesan atau panggilan. Aku pun memintanya untuk bertemu esok hari di Restauran Abu Nawas sepulang kerja, aku ingin mengakhiri hubungan kami sebelum akhirnya ia benar benar mengekangku. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Aku ga mau kamu sedekat itu sama laki laki lain. Kamu menghabiskan waktu kamu sama dia, sedangkan aku kerja." katanya dengan menatapku tajam. 

"Kamu mau cemburu sama bapak bapak dengan dua anak ? Dan asal kamu tau, aku juga kerja. Pekerjaanku ya memang seperti ini!" 

"Mau dia punya dua anak kek, punya sepuluh cucu kek tetep aja dia laki laki. Kalau emang pekerjaan kamu begitu, yauda resign aja cari pekerjaan lain." 

"Resign katamu ? Keluargaku di Malang mau dikasi makan apa kalau aku resign ? Dan lagi kamu bukan siapa siapa aku, ga berhak atur hidup aku." jawabku tak habis pikir. 

"Aku siapa ? Aku pacar kamu !"

"Kalau gitu kita putus aja. Jadi kamu ga ngerasa sakit hati terus dan aku bisa bebas." Jawabku seraya meninggalkannya. 

Ku dengar ia terus memanggil namaku, namun aku berusaha mengabaikannya. Hatiku juga terasa sakit berpisah dengan lelaki yang begitu aku cintai. Namun aku merasa sakit ketika ia menyebutku wanita murahan dan seenaknya mengatur hidupku. 

Setelah berpisah, ia masih sering mengirimiku pesan yang berisikan permintaan maafnya dan betapa ia ingin agar kita kembali bersama. Aku mengabaikan setiap pesan dan panggilannya, bahkan memblokir nomornya. 

Kukira ia sudah menjauh, namun setiap pulang kerja, kulihat ia menungguku di loby. Awalnya aku masih berusaha mengabaikannya meski kemudian ia mengejarku dan memintaku untuk memaafkannya. Namun ia selalu berada disana sepulang aku bekerja, membuatku merasa begitu terganggu. Akhirnya aku berusaha keras menghindarinya meski tak membuat usahanya kendor. 

Setelah 6 bulan aku putus dengan Chris, aku mendapat tawaran kerja di perusahaan lain dengan gaji lebih tinggi. Aku pun mengikuti proses rekrutmen dan berhasil menjadi karyawan di perusahan tersebut. Secara otomatis, aku tidak akan lagi bekerja di perusahaanku sebelumnya dan tidak akan dikuntit oleh Chris. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku pun menjalankan tugasku sebagai seorang sales dengan baik dan ternyata kinerjaku dinilai bagus oleh managerku yaitu Pak Yudha. Setelah 1 tahun bekerja, Ia mempromosikanku sebagai seorang supervisor dan juga membimbingku untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Chris pun tak pernah menghubungiku lagi, aku rasa kini aku telah terlepas darinya. 

Pak Yudha adalah berusia 30 tahun, 5 tahun lebih tua dariku namun di usianya ia telah mampu menjadi seorang manager yang menurutku cukup sukses. Karena kami sering berdiskusi untuk urusan pekerjaan, aku pun jatuh cinta padanya yang kebetulan masih belum berkeluarga. Gayung bersambut, ia membalas perasaanku. Ia mengatakan tidak ingin berlama lama dan ingin segera melamarku. Aku senang bukan main mendengarnya. 

Dalam waktu 6 bulan kami mempersiapkan pernikahan kami. Karena peraturan perusahaan yang tidak mengizinkan ada karyawan yang menikah dengan karyawan lain, aku pun mengundurkan diri dan fokus pada rencana pernikahanku. Gedung telah dipilih, baju pengantin telah dipesan, undangan pun telah disebar, tak terasa 1 minggu lagi aku akan menjadi istri dari Yudha. 

Tidak lama handphoneku berdering, ada telepon masuk dari Ibu Lastri, Ibu dari Yudha. 

"Iya Ibu, ada apa ?" tanyaku.
"Nadia, Yudha lagi di kontrakanmu ga ?" tanyanya dengan nada panik. 
"Engga Bu, ada apa bu ?"
"Dia ada kontak kamu ga Nad ?"
"Engga Bu, dari semalam Mas Yudha ga ada hubungi saya. Terakhir katanya semalam mau cari sate padang depan komplek, habis itu ga ada kontak saya bu, saya kira Mas Yudha langsung tidur Bu."
"Aduh Nad, Yudha ga pulang dari semalam."
"Apa ? Aduh Ibu tenang dulu ya, Nadia coba telpon Mas Yudha" jawabku coba menenangkan. 
"Ga diangkat Nad, handphone ga aktif. "
"Yaudah, Nadia coba telpon teman Mas Yudha ya. Ibu tenang dulu."
"Iya Nadia, tolong Ibu ya Nad"
"Iya Bu."

Aku pun panik dibuatnya. Ku hubungi satu per satu teman Mas Yudha, namun tidak juga kutemui titik terang. Akhirnya melaporkannya kepada Kantor Polisi dan hingga saat ini, H-3 pernikahan kami, Mas Yudha dinyatakan hilang. 

Hatiku gelisah tak menentu. Takut, rindu dan marah bercampur menjadi satu. Hingga kemudian aku mendengar dari polisi bahwa mereka menemukan jasad yang memiliki ciri ciri sama dengan Mas Yudha. 

Aku dan Bu Lastri bergegas menuju rumah sakit untuk melihat jasad tersebut. Aku berharap itu bukan Mas Yudha. Sesampainya disana, kulihat sesosok jenazah yang terbujur kaku. Badannya gosong dan ia ditemukan tidak berbusana. Ditemukan sejumlah luka tusuk dan luka akibat benda tumpul di kepalanya. Namun ketika melihat lehernya, Bu Lastri menangis histeris. 

"Itu Yudha Nad, itu Yudha." jeritnya. 
"Engga Bu, ini bukan Mas Yudha. Ini pasti orang lain."sergahku tak percaya. 
"Itu ada luka operasi di lehernya Nad, sama persis kaya Yudha." ia berteriak di sela tangisnya. Aku pun memeluknya, berusaha menenangkannya. 

Aku masih menyangkal pernyataan Bu Lastri sebelum akhirnya aku melihat sebuah cincin melingkar di jari jasad itu, cincin yang sama persis dengan cincin yang kini melingkar di jariku. Tiba tiba kurasakan tubuhku tak bertenaga dan pandanganku gelap. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

100 hari sejak kepergian Mas Yudha, aku kembali memulai lembaran baru hidupku. Bayang bayang Mas Yudha masih menghampiriku, rasa sakit juga masih membekas di hatiku, ingin rasanya aku mengurung diri di kamar namun hal itu tak kulakukan. 

Dengan hati yang hancur, aku melamar pekerjaan di sebuah perusahaan untuk posisi Area Manager. Saat duduk menunggu giliran interview, aku menjumpai sosok yang lama tak kutemui. 

"Andre!" seruku pada seorang pria berwajah oriental yang berjalan melintasiku. 

Pria itu menatapku sesaat sebelum akhirnya menyapaku hangat. 

"Nadia, lama ga ketemu. Kamu apa kabar ?" tanyanya dengan wajah berseri. 
"Aku baik baik aja. Kamu sendiri ?" 
"Yah aku baik baik juga. Aku turut berduka ya atas kejadian kemarin"

Aku terdiam sesaat mengingat batalnya pernikahanku. 

"It's OK Ndre. Kamu lagi apa disini ?" jawabku berusaha tegar. 
"Aku lagi interview nih di PT Celcius" 
"Loh sama, aku juga. Kamu nglamar buat posisi apa ?"
"Area Manager, jangan bilang kamu juga ya."

Aku pun mengangguk kemudian kami tertawa bersama. Tak lama kemudian namaku dipanggil, aku pun pamit pada Andre.

"Nadia, tunggu aku di caffe sebelah ya habis ini" katanya sebelum aku memasuki ruangan. 

Aku tersenyum tanda mengiyakan ajakannya. 

Sesuai janji, kami pun bertemu. Andre adalah mantan kekasihku saat SMU. Ia adalah pria hangat dan pengertian. Kami berpisah karena saat itu Andre melanjutkan kuliahnya di Padang sedangkan aku di Jakarta. Meskipun kami mengaku saling sayang, namun saat itu kami sepakat untuk mengejar mimpi kami masing masing. Yah sebuah alasan klise untuk cinta monyet yang kami jalin. 

Kami pun bertukar kabar setelah sekian lama tak berjumpa. Ia masih sehangat dulu, dan masih setampan saat kami pertama bertemu. 

"Jadi kamu sekarang masih kerja?" tanyaku. 
"Iyalah, kalau engga aku mau makan dari mana." jawabnya disertai tawa hangat. 
"Yah, aku lagi ga kerja. 3 bulan kemarin aku pulang ke Malang." 

Aku kembali merenung. Tak lama kemudian, Andre menggenggam tanganku. 

"Pasti sakit ya Nad ?" tanyanya. 

Aku tak mampu menjawabnya dan hanya mampu memandang wajahnya. 

"Aku obatin ya kalau sakit. Kita mulai lagi ya Nad." pintanya. 

Aku tau mungkin ini terlalu cepat untuk menerima orang lain selepas kepergian Mas Yudha. Namun akhirnya aku mengiyakannya, aku rasa aku juga berhak bahagia meski Mas Yudha telah pergi. 

Kami pun kembali berpacaran. Kami mengulang masa pacaran kita yang penuh riang dan tawa. Andre diterima di PT Celcius sedang aku gagal dalam interview itu. Andre mengajakku karaoke untuk menghiburku. Ia mengatakan bahwa aku pasti mendapatkan yang lebih baik. 

Seminggu kemudian aku mendapatkan panggilan interview di PT Nusantara sebagai seorang Sales dan seminggu setelahnya aku dinyatakan diterima. Hubunganku dan Andre baik baik saja, masih terasa begitu hangat meski aku tak tahu kemana hubungan ini akan dilanjutkan. 

Setahun menjalin kasih dengan Andre, ia mengajakku menemui orang tuanya. Ia berjanji menjemputku untuk pergi bersama ke stasiun. Namun hingga waktu menunjukkan pukul 15.30, Andre tak juga datang. Dan tak lama kemudian ada panggilan masuk dari Andre, namun bukan suara Andre yang kudengar. 

"Mbak, ini yang punya hape kecelakaan. Tewas di tempat Mbak, .... "

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mas Yudha, Andre. Sudah dua kali aku kehilangan orang yang kucintai dengan tragis. 

Meski dalam suasana duka, aku melanjutkan pekerjaanku untuk melupakan kesedihanku. Usiaku sudah menginjak 27 tahun, orang tuaku mendesakku untuk segera menikah. Antara duka dan rasa tertekan membuatku menjadi seorang workaholic. Bekerja hingga larut malam kulakukan, apapun itu agar aku tak merasa sedih. 

Rupanya kebiasaanku ini diperhatikan oleh Febri, Manager HRD di kantorku. Ia sering menegurku agar tidak terlalu memforsir diri. Yah awalnya kukira hal itu dilakukan karena dia adalah HRD, namun ternyata perhatiannya berlanjut meski di luar pekerjaan. Ia bahkan sering mengajakku pergi ke bioskop ataupun makan siang bersama. 

Yah, Febri juga terlihat tampan. Pekerjaan dan usianya pun telah mapan. Belum lagi kepribadiannya yang stabil, mengayomiku dan membuatku merasa nyaman. Akhirnya dengan senang hati aku menerima ajakannya untuk pergi kencan sesekali, toh aku tak bisa terus terusan meratapi kepergian Andre. Orang tuaku juga memintaku untuk segera menikah. 

Namun di suatu pagi aku mendapat kabar duka, kudengar bahwa Febri meninggal karena dibunuh oleh perampok. Meskipun ia belum menjadi kekasihku, namun aku menyayanginya dan hal ini kembali membuatku kembali terpukul. 

Dan hal ini terus terusan berulang. Pria yang dekat denganku, entah mengapa selalu saja meninggal. Aku tak tau apa yang salah denganku, namun hal ini membuatku merasa tak berguna dan menyusahkan orang lain. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sepulang bekerja, kudapati sesosok pria tengah duduk di kursi teras kontrakanku. 

"Selamat Malam Nadia." sapa pria itu. 
"Hai, Chris. Kok tumben kesini ?" tanyaku heran. 
"Aku kangen sama kamu Nad. Kangen banget." jawabnya. 

Kulihat ia membawa sekeranjang belanjaan, kutebak isinya adalah sayur mayur. Hal yang sama persis dengan apa yang kita lakukan saat berpacaran. 

"Kamu mau masak dan makan malam bareng ?" tanyaku. 
"Iya."

Aku pun tersenyum. Namun aku takut, selama ini pria yang bersamaku selalu saja meninggal tak wajar dan aku tak ingin Chris menjadi salah satu dari mereka. 

"Ah maaf Chris, tapi aku capek. Lain kali saja." jawabku sebelum kemudian membuka pintu rumahku. 

"It's OK kalau kamu capek Nad. Aku cuma mau hibur kamu setelah apa yang udah kamu lalui. Kalau sekarang kamu nolak, aku akan dateng setiap hari sampai kamu terima kedatanganku Nad." 

Aku pun berhenti sejenak. 

"Yaudah OK, ayo kita makan malam bareng." jawabku dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumahku. 

Kami pun memulai rutinitas yang dulu sering kita lakukan. Memasak dan makan malam bersama, mengingatkanku pada masa pacaran kami yang manis. 

"Kita balikan yuk Nad. Aku bantu biar kamu ga sedih lagi." katanya seraya menggenggam tanganku.
"Semua orang yang deket sama aku meninggal Chris." 
"Tapi aku ga akan ninggalin kamu."
"Aku gabisa Chris. Kamu gatau gimana sakitnya aku saat ngliat orang yang aku cintai pergi."
"Aku ga akan buat kamu sedih."
"Aku bilang gabisa ! Udah sana kamu pulang, aku mau sendiri." 

Chris pun mengikuti permintaanku. Ia pergi meninggalkanku. Namun karena terburu buru ia tak sengaja menjatuhkan buku catatannya.

"Chris, buku ... "

Ucapanku tertahan ketika tanpa sengaja kulihat ada foto Mas Pras, Andre, Febri dan pria lain yang kukenal di dalamnya. Ia mengumpulkan foto mereka dan membuat sebuah catatan yang ku ketahui bahwa itu merupakan jam mereka pulang bekerja. Aku bergidik membayangkan bahwa Chris terlibat dalam kematian mereka. 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

"Hai Nad, kok tumben ke kantorku." tanya Chris dengan tatapan berbinar menyambut kedatanganku. 
"Aku mau ngajak kamu makan malam di Abu Nawas." jawabku.
"Tapi ini udah jam 8, kamu gapapa kemaleman sampe rumah?"
"Iya gapapa." 

Aku pun naik ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan hingga tiba di lokasi ia menceritakan betapa menderitanya ia saat aku meninggalkannya.

"OK aku tau kamu menderita. Terus kamu ngebunuh semua pacar aku ?" tanyaku marah seraya melempar buku catatan miliknya. 

Ia tertegun sejenak dan memberhentikan mobilnya ketika kami sampai di Restauran Abu Nawas. Ia hanya duduk terdiam. 

"Jawab aku Chris!"
"Nad, ini ga kaya apa yang kamu pikirin?"
"Terus apa ? Kamu nguntit mereka, bahkan kamu ngawasin mereka, buat apa ?" 

Ia kembali terdiam dan membuatku kehilangan kesadaran. Aku memukul tubuhnya seraya menangis.

"Iya, aku yang bunuh mereka karena aku gamau ada orang lain yang deket sama kamu!"

Aku terdiam mendengar jawabannya. Pria yang pernah aku cintai adalah seorang pembunuh.

"Aku cinta sama kamu Nadia." katanya seraya menggengam tanganku. 

Aku menepisnya dan meninggalkan mobilnya. Aku tak tau akan pergi kemana, aku hanya bisa menangis sepanjang perjalananku. Hingga tiba tiba sekelompok pria tak dikenal menghadangku. 

"Mau kemana cantik ?"

Aku berdiri diam ketakutan. 

"Serahin barang barang lu." seru salah satu dari mereka. 

Dengan takut aku menyerahkan tas yang ku bawa. Namun bukannya pergi mereka justru menarik tanganku. Aku berteriak minta tolong berharap para pengemudi yang melewati jalan raya akan membantuku namun sia sia. 

Tiba tiba Chris datang dan menghajar mereka. Chris berusaha melepaskanku dari genggaman para preman itu. Akupun berhasil meloloskan diri. 

"Lari Nad, Lari !" kudengar ia terus berteriak padaku. 

Aku pun berlari sesuai perintahnya, namun mataku terus terpaku kepadanya. Hingga tak lama kulihat preman preman itu berlari ke sebuah gang kecil dan meninggalkan Chris yang jatuh bersimbah darah.

Langkahku pun berhenti. Aku tak dapat berpikir jernih. Hanya air mataku yang jatuh membasahi pipiku. Kulihat sejumlah pengendara motor mengerumuni Chris yang jatuh tak berdaya. Namun aku hanya melihatnya dari kejauhan hingga kulihat kerumunan orang itu membawa Chris ke sebuah mobil. Aku masih berdiri terpaku hingga mobil itu berjalan melewatiku, sepintas kulihat tubuh Chris dipenuhi oleh darah. 

Chris terluka, karena aku. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sepi, tenang. 

Aku hanya mendengar suara jam berdetak. Hanya ada aku disini. Aku tidak butuh siapapun. Orang lain hanya akan terluka saat bersamaku. Lebih baik begini, sendirian. 

Aku duduk di kursi goyang kesayanganku seraya menatap pria yang duduk di hadapanku. Ada Chris yang menatapku dengan tatapan sendunya seolah meminta maaf.

"Nadia, waktunya makan !" seru seorang wanita berpakaian putih. 

Ah wanita itu. Selalu saja datang mengganggu waktuku. 

Di belakangnya kulihat sesosok wanita paruh baya yang tengah menatapku prihatin dengan pria berjas putih.

"Bagaimana keadaan anak saya dok ?"
"Kondisi mentalnya masih terguncang Bu. Akan lebih baik jika ia berada disini karena kondisi emosionalnya masih tidak terkontrol."

Wanita paruh baya itu menangis. Kemudian ia beserta orang lain yang tidak kuharapkan kehadirannya pergi meninggalkanku. Sendiri.

0 komentar:

Post a Comment