Home » » Mengenal MBTI : Thinking vs Feeling

Mengenal MBTI : Thinking vs Feeling

Pada dua postingan sebelumnya, saya telah mengajak Anda untuk mengenali konsep MBTI dari dua dimensi yaitu bagaimana cara seseorang menyalurkan energinya dan cara seseorang menyerap informasi. Kali ini saya akan mengajak Anda untuk mengenal lebih jauh konsep MBTI dari dimensi bagaimana cara seseorang mengambil keputusan.

Baca juga : Divergent dan Konsep MBTI 

MBTI membagi dua kelompok atas dasar bagaimana cara seseorang mengambil keputusan yaitu kelompok Thinking dan Feeling. Sesuai artinya, Thinking artinya berpikir dan Feeling artinya merasakan, itulah garis besar penjelasan dari dimensi ini. Namun agar Anda dapat lebih memahami perbedaan dari kedua kelompok, maka dengan senang hati saya akan menjabarkannya.



Thinking

Samantha memiliki dua orang anak buah yang bernama Arnold dan Richard dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Arnold berusia 50 tahun dan merupakan ayah dari 3 anak yang masih duduk di bangku sekolah. Sedangkan Richard adalah pria lajang dengan usia 25 tahun. Ketika perusahaan melakukan perampingan dan Samantha diminta untuk mengeluarkan 1 orang dari timnya maka Samantha memilih untuk mempertahankan Richard dengan alasan ia masih berusia muda dan lebih produktif untuk melakukan kegiatan bekerja. 

Begitulah cara berpikir kelompok Thinking. Dapat dikatakan, kelompok Thinking senantiasa mengambil keputusan berdasarkan logika. Kelompok Thinking akan melakukan berbagai analisa tanpa melibatkan emosi terhadap suatu masalah. Singkat kata, mereka bertindak dengan objektif. 

Mereka menempatkan perasaan di urutan ke sekian dalam mengambil keputusan, oleh karena itu mereka seringkali dinilai tidak berperasaan dan tidak peduli terhadap orang lain. Seringkali mereka berbicara terus terang mengenai suatu hal karena bagi mereka akan lebih baik jika orang lain mengetahui kebenaran meskipun itu menyakitkan. Bagi kelompok Thinking, perasaan seseorang dapat dinilai valid jika perasaan tersebut logis dan dapat dicerna oleh akal sehatnya. 

Ungkapan khas yang seringkali keluar dari mulut kelompok Thinking dalam bekerja adalah"Kalau bekerja jangan pakai hati, harus profesional" yang keluar dari mulut kelompok Thinking. Hal yang tentunya juga berlaku bagi diri mereka sendiri yang tidak terpengaruh dengan kritikan atau hujatan dari orang lain.

Mereka tidak tertarik dengan urusan pribadi orang lain dan karenanya siap jika harus terlibat dalam suatu konflik dalam lingkungan kerja karena bagi mereka itu adalah bagian dari profesi.

Kelompok Thinking seringkali ditemukan dalam bidang pekerjaan yang membutuhkan ketegasan dan kepatuhan terhadap suatu standar seperti auditor, akunting, hakim, ataupun profesi lain sejenis. Karena cara berpikir mereka yang logis dan tanpa emosi, mereka dipercaya untuk menepati sebuah posisi yang mengharuskan mereka untuk menegakkan suatu aturan atau standar.

Feeling

Dalam kasus Samantha, seseorang yang dominan Feeling akan lebih memilih untuk mempertahankan Arnold dengan alasan di usianya yang sudah menua akan sulit bagi Arnold untuk mendapatkan pekerjaan baru sedangkan 3 orang anaknya di rumah membutuhkan penghasilan darinya untuk bertahan hidup. 

Begitulah bagaimana kelompok Feeling mengambil keputusan. Mereka memikirkan dampak keputusannya terhadap orang lain, apakah orang lain akan merasa senang atau justru dirugikan dengan keputusan tersebut. Bagi beberapa orang, mereka terlihat subjektif dalam mengambil keputusan. 

Mereka menempatkan perasaan orang di urutan pertama dan karenanya seringkali mereka disebut baper "terbawa perasaan" atau dikritik karena sifatnya yang "tidak enakan" kepada orang lain. Mereka dipandang emosional, tidak logis dan lemah bagi beberapa orang yang karenanya mereka jauh dari kesan tegas. Mengekspresikan amarah dalam bentuk membentak atau teguran keras adalah hal yang sulit bagi kelompok Feeling karena bagi mereka menjaga perasaan orang lain adalah hal yang penting, terlepas dari logis tidaknya perasaan itu. 

Ungkapan "Kalau bekerja jangan pakai hati, harus profesional" adalah hal yang tidak sepenuhnya dapat diterima oleh kelompok Feeling. Bagi mereka, bekerja tanpa hati hanya dapat dilakukan jika mereka dihadapkan dengan robot. Hal ini yang membuat mereka seringkali menganggap kritik adalah serangan pribadi untuk mereka dan membuat mereka seringkali gampang tersinggung. 

Mereka sangat menghargai kehidupan pribadi orang lain dan sangat benci jika harus terlibat konflik meskipun konflik adalah suatu hal yang wajar dalam dunia kerja. 

Karena sifat mereka yang cenderung empatik, mereka seringkali ditemui dalam profesi HRD, psikolog, sales dan profesi lainnya yang sejenis. Kemampuan empati dan kecintaan mereka terhadap harmoni membuat mereka dipercaya untuk terlibat dalam posisi pekerjaan yang membutuhkan kemampuan interpersonal dalam porsi yang cukup besar. 

Untuk lebih memahami perbedaan keduanya, Anda dapat melihatnya dalam bagan berikut. 


Dalam kehidupan sehari hari, kita akan sering menjumpai kedua kelompok tersebut. Karena sifatnya yang bertolak belakang, tidak jarang mereka terlibat konflik ataupun adu pendapat. Namun yang harus dipahami, baik Thinking maupun Feeling mengambil keputusan dengan cukup masuk akal bagi mereka. Yang membuat keputusan mereka tidak masuk akal adalah ketika penjelasan tersebut didengar oleh orang lain yang memiliki kecenderungan berlawanan. 

Menghargai perasaan orang lain adalah penting, mempertimbangkan logika juga tidak kalah penting. Kelompok Thinking bukanlah kejam atau tidak berperasaan, mereka hanya mengambil keputusan dengan mengikuti naluri mereka. Begitupun dengan kelompok Feeling, mereka bukanlah lemah ataupun terlalu emosional, mereka hanya memiliki pola pikir yang berbeda. 

Kita sendiri akan sering bertemu dengan orang lain yang memiliki cara pengambilan keputusan yang bertolak belakang dengan kita. Hal yang harus kita lakukan hanyalah saling menghargai tanpa perlu menghakimi. Cara mereka mengambil keputusan tidaklah salah dan cara kita pun belum tentu benar. Setiap keputusan memiliki dampak positif dan negatifnya, dan ketika kita telah mengambil sebuah keputusan maka kita siap dengan berbagai resiko di dalamnya. 

2 komentar: